BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (foodborne disease) dan kejadian-kejadian pencemaran pangan terjadi tidak hanya di berbagai negara berkembang dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya buruk, tetapi juga di negara-negara maju.
Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami keracunan pangan setiap tahunnya. Bahkan di Eropa, keracunan pangan merupakan penyebab kematian kedua terbesar setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas atau ISPA.
Hal inilah yang menarik perhatian dunia internasional World Health Organization (WHO) mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan atau dikenal dengan istilah “foodborne disease outbreak” sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti sebagai sumber penularan. Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia mempunyai makna sosial dan politik tersendiri karena peristiwanya sering sangat mendadak, mengena banyak orang dan dapat menimbulkan kematian.
Badan POM RI melalui Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, secara rutin memonitor kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia khususnya keracunan yang telah diketahui waktu paparannya (point source) seperti pesta, perayaan, acara keluarga dan acara sosial lainnya. Selama tahun 2004, berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan sebanyak 153 kejadian di 25 propinsi.
Jumlah KLB keracunan pangan pada bulan Januari sampai Desember 2004, adalah 153 kejadian di 25 propinsi. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan berjumlah 7347 kasus termasuk 45 orang meninggal dunia.
KLB keracunan pangan terbanyak di Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 32 kejadian (21%), Jawa Tengah 17 kejadian (11%), DKI Jakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat masing-masing 11 kejadian (7,2%), Bali 10 kejadian (6,5%), DI Yogyakarta 9 kejadian (5,9 %), Kalimantan Timur 7 kejadian (4,6%),Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan masing-masing 5 kejadian (3,3 %), Sumatera Barat dan Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 4 kejadian (2,6%), Sumatera Selatan, Lampung dan Sulawesi Tenggara masing-masing 3 kejadian (2%), NAD, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tengah dan Maluku masing-masing 2 kejadian (1,3%), Riau, Bangka Belitung, Banten, dan Kalimantan Selatan masing-masing 1 kejadian (0,7%).
Ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan pangan adalah makanan yang berasal dari masakan rumah tangga 72 kejadian keracunan (47,1%), industri jasa boga sebanyak 34 kali kejadian keracunan (22,2 %), makanan olahan 23 kali kejadian keracunan (15,0 %), makanan jajanan 22 kali kejadian keracunan (14,4 %) dan 2 kali kejadian keracunan (1,3 %) tidak dilaporkan.
Berdasarkan data tersebut sumber pangan penyebab keracunan pangan terbesar yaitu masakan rumah tangga. Hal ini disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan higiene pengolahan pangan (makanan dan air) dalam rumah tangga masih cukup rendah.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah investasi wabah dari kejadian luar biasa akibat keracunan pangan?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Keracunan Pangan
Akhir-akhir ini keracunan pangan sering dilaporkan di media massa, meskipun menurut laporan resmi jumlah kejadian luar biasa (KLB) akibat pangan di Indonesia tidaklah tinggi. Rendahnya angka KLB mungkin disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah sedikitnya pelaporan. Beberapa penyakit yang disebabkan keracunan pangan seringkali dianggap sakit ringan seperti sakit perut, muntah dan acap kali dapat sembuh tanpa perawatan maupun pengobatan sehingga orang tidak berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Selain itu, keracunan yang bersifat sporadik cenderung tidak dilaporkan. Sebenarnya pelaporan keracunan pangan sangat penting untuk mengetahui status keamanan pangan suatu negara. Yang lebih penting lagi adalah tindak lanjut pelaporan yakni investigasi keracunan pangan, yang hasil investigasinya semestinya dapat digunakan untuk penanggulangan keracunan, penetapan penyebab keracunan dan pencegahan keracunan serupa di masa yang akan datang.
Investigasi keracunan yang baik seyogyanya tidak berhenti pada adanya tindakan medis untuk menanggulangi korban, akan tetapi terutama ditujukan pada penemuan penyebab keracunan dengan menggunakan informasi dan pendekatan epidemiologi : apakah bahan pangan penyebab keracunan, apa dan berapa jumlah cemaran atau bahaya ( hazard ) yang menyebabkan keracunan dan mengapa bahan cemaran tersebut terdapat dalam bahan pangan. Untuk itu, investigasi harus dilakukan terhadap korban keracunan, sample makanan yang tersedia, sample klinis yang dikumpulkan dari penderita dan dilanjutkan kepada tempat atau lokasi ( premises ) dimana bahan pangan tersebut diolah.
Untuk melakukan investigasi yang tuntas diperlukan suatu sistem investigasi yang baik yang didukung oleh sumber daya manusia maupun laboratorium yang baik. Investigasi yang baik akan memberikan hasil investigasi yang bermakna sehingga dapat dikonmfirmasi penyebab keracunan dan kesalahan penanganan yang menyebabkan terjadinya keracunan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk memperbaiki suatu proses maupun suatu kebijakan umum tentnagn penanganan atau pengolahan pangan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Sistem investigasi keracunan yang baik diperlukan agar jelas institusi-institusi mana yang bertanggung jawab terhadap suatu investigasi serta wewenang yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut serta kepada siapa laporan harus diberikan. Tim investigasi sebaiknya terdiri dari sekumpulan orang yang berasal dari berbagai institusi di atas dengan dipimpin oleh orang yang kompeten. Tim harus mendapat informasi tentang tujuan, prosedur program dan pentingnya investigasi dan keterampilannya harus diasah agar dapat melakukan peran/tugasnya dengan baik selama investigasi.
Disamping tim dan institusi yang jelas tugas dan wewenangnya, perlu dikembangkan suatu prosedur operasi yang baik dan disepakati oleh semua pihak, laboratorium rujukan dengan keahlian analisis yang diketahui serta jika diperlukan adanya kelompok pakar sebagai narasumber. Hal ini penting untuk menetapkan siapa –siapa saja yang akan bergerak ketika suatu keracunan dilaporkan, siapa yang akan melakukan wawancvara, siapa yang berhak menahan sample yang diduga sebagai penyebab keracunan, atau pun mengambil sample klinis untuk keperluan investigasi.
Dalam sistem tersebut, seyogyanya terdapat bagian humas untuk memberi penjelasan yang tepat serta tidak simpang siur mengenai kejadian keracunan pangan. Selain itu, investigasi sebaiknya juga dipublikasikan dalam bentuk riset ilmiah dalam publikasi ilmiah untuk menjadi bahan pembelajaran.
C. Investigasi di lapangan
Investigasi keracunan pangan terutama dilakukan untuk mempersempit penyebab keracunan, karena keracunan pangan dapat disebabkan oleh ribuan galur bakteri maupun berbagai racun baik yang dihasilkan oleh mikroba maupun bahan kimia yang secara sengaja maupun tidak sengaja ditambahkan dalam suatu rantai produksi pangan dari proses hulu (penamnaman, pemanenan) sampai ke hilir (pengolahan, pengemasan dan sebagainya). Dalam pelaksanaannya kegiatan mempersempit kandidat penyebab keracunan ini dilakukan baik melalui wawancara mapun analisis obyektif di laboreatorium.
Wawancara dengan korban keracunan merupakan suatu langkah strategis yang dapat menuntun tim investigasi ke arah penyebab keracunan yang paling mungkin. Oleh karena itu, disamping memenuhi kaidah-kaidah teknik wawancara untuk mendapatkan hasil sesahih mungkin, substansi wawancara dalam investigasi keracunan juga harus memuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan yang dapat menggiring pada berbagai data untuk analisis epidemiologi seperti gejala yang dominan, waktu onset , dan jenis-jenis pangan yang dikonsumsi dalam 72 jam terakhir.
Analisis epidemiologi dan interpretasi yang tepat tentang gejala keracunan, waktu onset, jenis bahan pangan dengan memahami teknik pengolahan yang rawan terhadap keracunan suatu kontaminan tertentu, penghitungan food specific attack rate , serta pengetahuan mutakhir tentang jenis-jenis kontaminan yang banyak menyebabkan keracunan pangan dapat membawa tim investigasi pada jenis pangan yang patut dicurigai serta penyebab keracunan yang paling mungkin.
Dalam suatu jamuan misalnya, lazimnya disajikan berbagai jenis lauk pauk, makanan pembuka atau penutup. Hasil wawancara yang baik semestinya dapat menggiring investigator pada 2-5 jenis pangan yang paling mungkin yang sesuai dengan gejala, waktu onset, serta teknologi pangan yang diduga penyebab keracunan tersebut.
D. Investigasi di laboratorium
Hasil analisis wawancara yang baik menjadi suatu modal penting dalam pelaksanaan uji laboratorium. Dalam kenyataannya jumlah sampel yang tersedia dalam keracunan pangan seringkali sangat terbatas untuk keperluan analisis untuk beberapa calon penyebab keracunan. Penting diketahui disini bahwa penyebab keracunan dalam analisis hanya dapat diketahui jika dilakukan analisis terhadapnya, kecuali untuk gejala keracunan tipikal dengan satu jenis pangan yang telah dikenal seperti keracunan tempe bongkrek, ikan buntal dan lain-lain. Apabila analisis hanya dilakukan untuk mikroba A, misalnya, maka tentu tidak mungkin disimpulkan bahwa mikroba B-lah penyebab keracunan.
Di Eropa dan Amerika Serikat, misalnya, saat ini melaporkan bahwa Campylobacter jejuni adalah penyebab keracunan terbesar. Mengingat kompleksitas uji bakteri ini yang cukup tinggi, besar kemungkinan bakteri ini tidak diuji dalam kejadian-kejadian keracunan, sehingga meski mungkin terjadi tetapi keracunan karena C. jejuni di Indonesia mungkin belum muncul dalam hasil investigasi.
Pemahaman mengenai pennyebab keracunan dan jenis pangan menjadi penting, apalagi saat ini muncul berbagai patogen “emerging”. Misalnya, jika hasil wawancara menunjukkan kemungkinan bakteri penyebab spora merupakan penyebnab keracunan dalam bahan bangan matang berprotein tinggi, maka analisis lebih tepat diarahkan pada Clostridium perfringens daripada Bacillus cereus, meskipun keduanya menghasilkan spora. Apabila muntah muncul sebagai gejala utama pada keracunan pangan, dengan waktu onset yang pendek (kurang dari 1 jam) maka analisis terhadap bakteri dan enterotoksin Staphylococcus aureus atau B. cereus tentunya menjadi lebih tepat.
Dalam analisis laboratorium, penting diketahui modus suatu kontaminan khususnya mikroba dalam menyebabkan keracunan. Apakah bakteri tersebut menyebabkan infeksi? Apakah bakteri tersebut menyebabkan intoksikas? Apakah diperlukan jumlah besar untuk bakteri tersebut dalam menyebabkan keracunan? Hal ini akan memberikan input tentang apakah analisis kualitatif saja sudah mencukupi atau diperlukan analisis kuantitatif, dan juga apakah analisis metabolit (toksin) diperlukan. Untuk itu analisis laboratorium harus penggunaaan metode analisis yang terstandarisasi dan tenaga analisis yang berketrampilan tinggi agar diperoleh hasil yang konsisten. Khususnya untuk keracunan karena mikroba, penting digunakan pendekatan metode analisis yang paling mendekati sasaran. Tahap pendugaan untuk analisis Escherichia coli dalam lactose broth misalnya akan mampu membawa analisis menemukan E. coli , tetapi tahapan ini juga meniadakan E. coli galur tertentu seperti O157:H7, sehingga pada kondisi E.coli O157:H7 yang diduga menjadi penyebab keracunan, tahap pendugaan dalam lactose broth harus dimodifikasi, misalnya dengan penggunaan antibiotika.
E. Penanganan Sampel Keracunan Pangan
Hal penting lainnya dalam investigasi keracunan adalah penanganan sampel. Jika toksin kimia merupakan penyebab keracunan, maka senyawa tersebut umumnya stabil selama penyimpanan. Akan tetapi apabila mikroba merupakan kandidat utama penyebab keracunan maka penanganan yang benar terhadap sample harus dilaksanakan. Hal ini untuk menghindari “hilangnya” penyebab keracunan dalam analisis karena penyimpanan sampel pada suhu ruang misalnya dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri lain sehinggga menghambat pertumbuhan penyebab keracunan.
Pada kondisi lain, penyimpananan pada suhu beku, juga dapat menghilangkan bakteri-bakteri yang rapuh seperti C. jejuni. Penyitaan sampel oleh aparat kepolisian haruslah memperhatikan aspek ini, karena sampel yang berada pada suhu ruang selama >12 jam mungkin sudah tidak relevan lagi untuk keperluan analisis mikrobiologi.
Investigasi laboratorium yang baik akan dapat memberikan gambaran tentang kontaminan apa yang paling mungkin menyebabkan terjadinya keracunan. Namun, seringkali hal ini tidak dapat diterapkan karena tidak adanya sampel makanan. Dalam kasus-kasus seperti ini maka analisis laboratorium pada sample klinis (muntahan, darah, feses korban) menjadi satu--satunya sumber analisis laboratorium. Dengan mengacu pada hasil wawancara, maka analisis sampel klinis juga dapat dairahkan kepada sekelompok “kandidat penyebab keracunan”.
Investigasi epidemiologi dengan metode case control maupun cohort menjadi penting untuk menetapkan kandidat penyebab keracunan. Apabila mikroba tertentu diduga sebagai penyebab keracunan, analisis dapat menjadi kompleks karena dalam feses, misalnya, mungkin ditemukan berbagai jenis mikroba. Dalam keadaan seperti ini, analisis lebih dalam misalnya melalui serotyping , ribotyping , resistotyping (ketahanan terhadap antibiotika tertentu) menjadi pilihan yang untuk menghubungkan gejala klinis, jenis makanan, dan jenis galur bakteri yang paling mungkin menjadi penyebab keracunan.
F. Investigasi di lokasi pengolahan pangan penyebab keracunan
Dalam kondisi ideal, maka hasil investigasiu dapat menjadi maksimal ketrika hubungan antara gejala klinis, jenis mikroba pada sample makanan dan atau sampel klinis sesuai. Pada hasil investigasi yang terkonfirmasi seperti itu, maka perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjutr di tempat/sarana bahan pangan tersebut dipolah. Analisis tempat pengolahan ditujukan untu melakukan rekonstrusi tentang bagaimana pangan penyebab keracunan tersebut dihasilkan pada saat keracunan terjadi.
Dengan menggunakan data hasil analisis laboratorium maka investigasi dilakukan dengan mendokumentasikan kembali proses, personel dan praktek-praktek yang terjadi sehingga dapat disusun suatu skenario mengenai pada tahap apa dan mengapa bahan berbahaya (bahan kimia atau mikroba) dapat berada pada makanan. Informasi ini penting untuk dapat memperbaiki suatru langkah proses atau prosedur pada industri pangan tersebut maupun industri pangan sejenis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit karena pangan (foodborne diseases) yang lebih dikenal sebagai keracunan makanan, dapat disebabkan oleh patogen (virus, bakteri, protozoa, cacing) maupun bahan kimia (residu pestisida, logam berat, bahan tambahan ilegal, mikotoksin, dan sebagainya). Meskipun di Indonesia kasus-kasus penyakit asal pangan belum lengkap datanya, kasus keracunan pangan bisa disebut fenomena gunung es karena pangan dikonsumsi setidaknya tiga kali sehari.
Penyakit akibat makanan tercemar patogen umumnya ditandai dengan terganggunya fungsi-fungsi saluran pencernaan. Gejala yang lazim muncul adalah diare.
Saat ini, virus asal pangan yang paling dominan di negara-negara maju adalah virus Norwalk-like yang sering menyebabkan diare melalui konsumsi salad maupun kerang-kerangan.
B. Penutup
Dari tulisan ini, kita mengetahui bahwa investigasi keracunan bukan sesuatu pekerjaan sederhana melainkan suatu pekerjaan kompleks dengan tingkat kesulitan yang amat tinggi. Pada kasus-kasus keracunan seringkali media massa menanyakan penyebab keracunan pada saat keracunan terjadi, yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan karena diperlukan tahapan investigasi untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat.
Oleh karena itu penting bagi pemerintah agar memiliki tim investigasi yang handal yang dilengkapi dengan sumberdaya yang memadai, sistem kerjasama yang baik dengan pihak pihak pos untuk memberi prioritas pengiriman sampel keracunan serta dengan pihak kepolisian agar penanganan sampel keracunan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tim humas yang dapat terus memberi penjelasan secara transparan kepada publik serta publikasi ilmiah tentang kasus-kasus keracunan yang terjadi agar dijadikan bahan pembelajaran bagi industri pangan dan para peneliti. Demikian makalah ini dibuat sebagai bahan referensi bagi pembaca semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya buat kami sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.